“Setiap kita mempunyai drama hidup masing-masing. Juga kadar senang atau susahnya, suka atau pedihnya”
Nasib lelaki tua itu benar-benar mengenaskan. Tragis. Ia telah enam belas tahun dikurung di penjara bawah tanah, di masa kekuaasaan Al-Mqtadir Billah. Tidak itu saja, sehari-hari ia harus menjalani hukuman menahan beban besi di tubuhnya.
Sebelumnya ia seorang pedagang yang sukses. Hidupnya lapang. Dengan penuh semangat ia mencari rezeki ke pasar. Tapi segalanya berubah sejak suatu malam yang belum lagi larut. Ia pergi memenuhi undangn seorang temannya sesame pedagang pasar. Di tengah jalan, tiba-tiba ia melihat banyak lilin menyala di sebuah took. Di dekat lilin itu berserakan kayu. Sedang pintu toko sedikit terbuka.
Seketika ia berusaha menjauhkan kayu dari api-api itu, sebab bila tidak akan membakar kayu-kayu dan kemudian toko itu. Ia bergegas melihat apa yang terjadi. Ia masuk ke toko itu, setelah sebelumnya menyingkirkan api yang mulai membakar kayu. Betapa terkejutnya ketika ia sampai di dalam toko, ada seonggok mayat lelaki yang baru saja terbunuh dengan pisau yang masih menancap di dadanya.
Rupanya orang itu dibunuh,kemudian pelakunya hendak menghilangkan jejak dengan membakar toko itu. Seperti kisah-kisah klasik tentang kebakaran toko atau pasar di masa kini yang sulit antara terbakar sendiri atau dibakar. Sejak dulu, kebakaran dan pembakaran, mungkin benar-benar hanya beda pada huruf-huruf awalnya, tapi tidak pada substansinya.
Pada saat ia ada di dalam toko itu, bersamaan dengan itu lewatlah para petugas ronda. Salah seorang mereka diperintahkan komandannya untuk masuk. Begitu masuk ke dalam toko, petugas ronda itu mendapati lelaki tua itu bersama seonggok mayat di dekatnya. Maka, tanpaampun lagi, ia pun dituduh sebagai pembunuhnya.
Lelaki itu diseret ke tempat interogasi. Ia dipukuli, disiksa, dengan tuduhan sebagai pembunuh. Tapi ia tetap tidak mau mengaku, karena memang ia tidak melakukannya. Keluarganya berkumpul, membawa bukti-bukti dan saksi. Akhirnya ia tidak dihukum mati. Sebagai gantinya, ia dimasukkan ke penjara bawah tanah. Dengan siksaan yang tak pernah henti setiap hari.
Tahun demi tahun berlalu denganpenuh kepedihan. Ini benar-benar kesulitan di atas kesulitan. Enam belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Tapi lelaki itu tak pernah berhenti berharap. Kesulitan harus punya takdir selesainya. “Demi Allah, aku adalah orang yang terzalimi. Apa pedulimu! Demi Allah, aku tidak akan berputus asa dengan siksaan seperti ini dari mengharap anugerah Allah. Pasti sesaat demi sesaat kelapangan pasti akan tiba,” ucap lelaki itu kepada Abu Ali Al-Wakil, seorang tokoh ulama’ di masa itu, yang menemuinya di penjara bawah tanah.
Tiba-tiba terdengar suara sangat gaduh. Penjara dijebol dan banyak orang bisa menerobos ke penjara bawah tanah. Setelah itu, mereka mengeluarkan semua orang yang ada di sana termasuk laki-laki tua tadi. Hari itu ternyata telah terjadi kekacauan besar melawan kekuasaan Al-Muqtadir. Melengkapi kisah tanah Irak yang tak pernah berhenti bergolak. Dari dulu, hingga sekarang. Kisah Al-Wakil tentang lelaki itu pun terhenti di situ. Huru-hara meluas. Manusia berhamburan. Lelaki itu berjalan tertatih, lalu lenyap. Mengiringi Irak yang bergumul dalam pertikaian politik dan gejolak sosial.
Lelaki itu mungkin hanya meninggalkan sepotong kata-kata. “Aku tidak akan berputus asa dari mengharap anugerah Allah.” Sepertinya sederhana, pendek, dan sepintas hanya terkesan kalimat basa-basi orang-orang yang harus menghibur dirinya sendiri. Tapi sejujurnya itulah inti segalanya.
Enam belas tahun bukan waktu ayng singkat. Sepanjang itu, ia harus meyakini dua bal sekaligus. Yakin, bahwa dirinya tidak salah. Dan karenanya ia yakin akan pertolongan Allah. Itu keyakinan kedua yang lebih sulit. Sebab yang ia rasakan secara fisik benar-benar mengguncang. Seorang tua, harus menanggung beban dan siksaan fisik, dalam waktu selama itu.
Itulah rahasia iman. Orang-orang beriman selalu punya caranya sendiri untuk bisa menata hatinya, meski berlawanan dengan apa yang dilhat oleh matanya, atau apa yang dirasakan oleh fisiknya, atau apa yang ia terima dalam kehidupannya. Saat ia mendapat msuibah, air matanya menangis, tapi hatinya terilhami untuk meyakini, bahwa apa yang diberikan Allah pada dirinya pasti yang terbaik baginya. Saat ia mendapati kesulitan demi kesulitan, seakan berentetan tanpa ujung, fisiknya mungkin lelah. Kepalanya mungkin pusing. Pikirannya mungkin sangat penat. Tapi itu justru mengilhami hatinya, untuk terus meyakini, bahwa bila seorang diuji oleh Allah, itu tandanya Allah masih sayang dengan orang itu.
Setiap kita punya drma hidup masing-masing. Juga kadar senang atau susahnya, suka atau pedihnya. “Dan Kami akan menguji kalian dengan yang baik dan yang buruk sebagai ujian,” begitu Allah menjelaskan. Setiap kita mungkin juga pernah mengalami masa-masa paling sulit sepanjang sejarah hidup kita, kecuali segelintir orang yang mungkin merasa tak pernah punya kesulitan. Setiap kaidah sekaku ada pengecualian.
Begitulah. Jadi, pada mulanya haruslah keyakinan itu sendiri. Seperti kata lelaki tua itu, bahwa sesaat demi sesaat kelapangan yang akan tiba. Tidak ada ilham yang melebihi keyakinan akan kekuasaan dan pertolongan Allah. Sebab dari sana kesaaran disandarkan kepada tempat yang benar, kepada Allah Yang Maha Benar. Bagi Allah sangat mudah untuk mendatangkan pertolonga. Sebab memang hal pertama yang harus dilakukan orang ketika mendapat kesulitan, adalah merekonstruksi scenario tindakan emergency dan penyelamatan. Dan, itu tak lain adalah memohon kepada Allah langsung. Namun betapa sering kita sulit menghadirkan kuasa Allah, eksistensi-Nya, keadilan-Nya, di dalam carut mau\rut peta musibah, ujian, atau kesulitan yang kita terima.
Ilham keyakinan ibarat pasak-apsak di dalam jiwa, yang tak pernah tergoda hanya oleh angin sepoi yang menidurkan. Ilham keyakinan ibarat tiang-tiang pancang yang menyangga begitu berat beban bangunan diatasnya: rumah, jembatan, gedung-gedung tinggi menjulang.
Keyakinan yang kokoh akan mengalir menjadi anak-anak sungai, berupa prinsip-prinsip mendasar dalam hidup, filosofi yang kuat, pilihan-pilihan sikap yang terhormat, kejujuran yang bertenaga, keberanian, daya tahan, atau bahkan semangat member manfa’at yang tak pernah lelah.
Kini kita merindukan jiwa-jiwa yang kuat. Keyakinan yang terus muncul dari ilham-ilham di atas segala jalan hidup. Tapi rasanya tiada hari yang lebih kering dari hari-hari ini. Ketika Tuhan tak lagi punya tempat di relung-relung hati orang-orang ramai yang sebenarnya kesepian. Tak ada ilham tentang keyakinan. Tak ada gairah untuk semangat. Tanyalah perempuan yang menjual dirinya dengan murah. Mengapa? Untuk cari uang tambahan, jawabnya ringan. Atau tanyalah anak-anak muda yang diterkam narkoba, pejabat yang korup, pedagang amatir yang sok sibuk hingga lupa shalat, politisi bau kencur yang jadi broker penjarahan uang rakyat, atau mahasiswa yang berubah menjadi preman di kampusnya sendiri.
Alangkah kayanya hidup ini denganpelajaran, juga sumber inspirasi dan ilham. Tapi alangkah miskinnya kebanyakan kita. Hari-hari berlalu dengan musibah atau karunia, tapi hanya dengan manfaat yang sedikit bagi kebanyakan orang. Kecuali meeka yang terbiasa mengasah kepekaan hati, yang mau menahan pedihnya lahiriah, demi ketenangan batin. Kecuali bagi orang-orang yang tak tergoda oleh apa yang nampak, bila itu tak sesuai dengan apa yang tersembunyi. “Sesungguhnya menjadi sabar itu dengan berlatih menyabar-nyabarkan diri. Sesungguhnya menjadi lembut itu dengan berlatih melembut-lembutkan diri.”
Kisah tentang kesulitan yang mengilhami keyakinan belum akan usai. Bahkan seterusnya. Selama masih ada orang-orang pilihan yang tak kalah hanya oleh kesulitan, bahkan oleh kesulitan di atas kesulitan. Seperti lelaki tua itu. Usianya tak kuasa membunuh keyakinannya. Luka-lukanya tak mampu mengguncang keyakinannya.
Selama kamu bukan pendosa atau penikmat kesalahan, maka kesulitan kan selalu melahirkan ilham dan mengiringi datangnya pertolongan atau anugerah baru yang kadang tak terbayangkan.
~dikutip dari buku "Lelaki Pendek, Hitam & Lebih Jelek dari Untanya" karya Ahmad Zairofi A M.semoga bermanfa'at..~
0 Komentarmu..:
Posting Komentar