Assalamu'alaikum

pink purple flowers

Kamis, 26 Desember 2013

reblog: Toleransi Tak Sebatas Selamat Hari Raya

Oleh: Darwis Tere Liye


Saya akan sampaikan maksud dan tujuan ini dengan cerita saja. Seolah fiksi, tapi bentuk kongkretnya bahkan lebih cemerlang dibanding ini. Amat sangat cemerlang malah, saat akhlak yang sungguh baik, terpancar begitu indah dari seorang muslim, tanpa harus merusak akidahnya. Karena sejatinya, ketika seorang muslim mempunyai akhlak tersebut, dia pasti akan membuat nyaman siapapun di sekitarnya.


Kita sebut saja Bambang. Orangnya biasa saja. Rajin shalat ke masjid, bergaul dengan tetangga, suka membantu, dan amat menyantuni fakir miskin serta anak yatim. Dia dikenal oleh banyak orang, satu kampung hafal dengan Pak Bambang ini. Terlebih kampung itu dihuni oleh warga heterogen. Beragam agama, banyak suku bangsa, kebiasaan, tumplek jadi satu.


Saat tetangga sebelah rumahnya, Pak Sihombing, asli Batak, hendak pergi ke gereja di suatu hari Minggu, mobil tetangganya ini malah mogok, tidak bisa dibawa, Pak Bambang dengan senang hati meminjamkan mobilnya, "Silahkan dipakai." Tersenyum tulus. Toh, seharian minggu itu keluarga Pak Bambang hanya kumpul di rumah. Saat tetangga lain rumahnya kena musibah, kebakaran, Pak Bambang tidak perlu dua kali berpikir memberikan bantuan, membuka pintunya untuk menampung, padahak jelas-jelas tetangganya ini Hindu. Pak Bambang menyantuni anak anak yatim piatu, tidak perlu bertanya ini agamanya apa. Bahkan saat sebuah kampung yg dekat dgn kampung mereka kena musibah, banjir bandang, meskipun sekampung itu Kristen, ada gereja yang rusak, Pak Bambang tidak perlu berpikir dua kali untuk membantu mengirimkan sembako, dan sebagainya.


Tapi seumur-umur, tetangganya tahu persis Pak Bambang tidak akan pernah mengucapkan 'selamat natal', 'selamat waisak', dan selamat lainnya kepada tetangganya yang berbeda agama. Tidak akan. Lah, tega sekali pak Bambang ini? Apakah dia ekstrem kanan hingga tidak mau hanya sekadar bilang kalimat itu? Maka tanyakanlah pada tetangganya yang berbeda agama. Tidak terbersit sekalipun mereka menganggap Pak Bambang ini ekstrem. Yang ada, jelas sekali Pak Bambang ini tetangga yang baik, nyaman, dan selalu menghormati mereka.


Kita tanyakan ke Pak Bambang kenapa dia tidak pernah bilang 'selamat natal'? Maka jawabannya sederhana: 'ada batas yang tidak bisa dilanggar dari akidah'. Jawaban simpel yang menjelaskan banyak hal. Itu benar, membantu tetangganya, meminjami mobil, tidak ada sangkut pautnya dengan akidah, keyakinan. Membantu tetangga menumpang, menyantuni anak2 yatim piatu berbeda agama, tidak ada sangkut pautnya dengan akidah, keyakinan. Termasuk membantu satu kampung yang seluruhnya Kristen, mengirimkan makanan karena mereka terkena musibah, itu bukan urusan akidah, melainkan SUNGGUH cerminan ahklak prima dari seorang muslim, dan diajarkan langsung oleh Nabi kita, tidak pandang bulu. Tapi mengucapkan kalimat 'selamat natal', menghadiri acara misa, natalan, dsbgnya, itu jelas ada hubungannya dengan akidah, keyakinan.


Tapi itu kan hanya sepotong kalimat saja? Dari sisi mana itu akan merusak akidah? Kenapa Pak Bambang serius sekali. Maka, duhai orang orang yang masih saja meributkan masalah ini, kalau itu hanya sepotong kalimat saja, kenapa pula kalian ribut? Itu hak mutlak dari Pak Bambang untuk bilang atau tidak, dan kalaupun dia tidak bilang, bukan berarti dia jahat, bukan berarti dia berbahaya, punya paham ekstrem. Lihatlah dengan mata kepala, toleransi yang dimiliki oleh Pak Bambang melebihi hanya sekadar kata kata. Karena boleh jadi, orang2 yang ribut dengan kalimat ini, ya hanya ribut pada level kalimat saja. Pernah meminjamkan mobil ke tetangganya? Pernah memberikan rumah sbg tempat menumpang sementara bagi tetangga Hindu? Pernah tidak? Pak Bambang simply meyakini, dia takut kalau dia mengucapkan kalimat tersebut ke tetangganya, maka terbersit di hatinya sesuatu yang bisa merusak akidahnya. Tapi bukankah Pak Bambang bisa memastikan tidak bermaksud demikian? Tidak bermaksud ikut meyakini perayaan hari besar agama lain tersebut? Itu benar, tapi demi kehati-hatian, dia memilih untuk tidak melakukannya. Dan semua orang seharusnya menghormati pilihannya, bukan justeru berpasangka yang tidak-tidak.


Diskusi ini selalu berulang ulang setiap tahun. Dan entah sampai kapan akan dipahami banyak orang. Saya pribadi, tidak akan bilang kalimat selamat natal, selamat hari raya agama ke teman2 pemeluk agama lain–karena eh karena, duh, saya saja yang muslim nggak pernah bilang selamat hari ulang tahun Nabi Muhammad, selamat tahun baru hijriyah, selamat isra' mi'raj, atau selamat2 lainnya ke banyak orang, sesama muslim. Saya tidak akan mengada adakan hal baru, dan tidak akan mengikut ikut trend yang ada. Yang ada dan jelas ada saja saya keteteran menjalankannya. Tetapi secara pribadi, saya akan meneladani Pak Bambang. Toleransi, menghormati agama lain 'beyond' kata kata, kalimat, dan itu lebih kongkret memunculkan rasa nyaman bagi siapapun.


Karena saya yakin, mengeluarkan akhlak prima sebagai seorang muslim, otomatis mengeluarkan toleransi terbaik yang pernah ada di muka bumi ini.


*Saya minta maaf kalau ada yang tidak berkenan dengan pemahaman ini. Dan boleh jadi pendapat saya keliru. Saya sudah berusaha menuliskannya hati2. Nah, jika kalian membutuhkan pondasi yg lebih kokoh, silahkan merujuk pada penjelasan Buya Hamka soal ini, di search, di googling. Beliau adalah ahli tafsir, dan dalam banyak kesempatan, saya mendengarkan penjelasannya.


Sumber:
http://diniehz.blogspot.com/

Kamis, 05 Desember 2013

Malam Berselimut

Dunia seakan berakhir disini, ketika mentari telah mengadu ke peradabannya.
Seluruh kegiatan seperti ingin ditutup begitu saja, membuatnya berlalu seperti dihembuskan angin kencang yang lewat secara bersamaan.
Hanya sekedar berharap, pergilah kau jauh-jauh dan biarkan malamku kembali tak berselimut.

Inilah yang membedakannya dengan duniamu...
Ketika malammu tetaplah benderang bersinarkan rembulan yang elok nan permai.
Ketika kau sujud kepada tuhanmu dalam-dalam, mengharapkan secercah saja cahaya Illahi melintas dan mengangkut seluruh mimpi serta harapan yang kau tumpukan pada umatmu.
Juga ketika otakmu tak pernah berhenti bekerja demi memikirkan kelanjutan dakwah ini.
yah.. Inilah,
Seperti ini kukira, jalanan yang tentram berlandaskan hukum-hukum yang telah terlukiskan dengan jelas tanpa ada selubung yang membuatnya buram dan nampak abu-abu.

Sekali lagi aku harus meneriakkannya dengan lidahku yg kelu tuk berucap.
Malangnya duhai malamku...
Bertaburkan rinai-rinai hujan, tapi tak satupun yang melihat keindahannya selain selimut mendung yang gelap dan suram tanpa celah.

Haruskah ku akui semua kemunafikan ini?
Dengan segenap rinduku pada bintang kecil yang sinarnya kandas jikalau dua malaikat malamku berhenti berucapkan matra-mantra ajaibnya.
Dengan seluruh rasa maluku yang telah hilang entah kemana.
Dan dengan semuanya, semuanya...
Ketika dengan egoisnya malamku hanya sebatas mengintip diri yang semakin berlubang.
Yang entah masih bisa diperbaiki atau kah sudah terlalu rongsok?

Sungguh..
Jikalau kau izinkan, bolehkan aku menatapmu dengan iri?
Iri karena malammu yang indah terawat, bertaburkan keberkahan serta naungan cinta kasih-Nya.
Iri karena malammu begitu lengang dan damai sehingga kau selalu memiliki cukup waktu untuk memperbaiki setiap mili mikro celah yang ada

Malamku buanglah selimut ini..
Buanglah jauh-jauh...
Karna aku juga ingin malamku benderang bermandikan cahaya bulan.

Hasil melekan pukul 2:33 a.m.
setelah nunggu fd anak D3A yg ngopi mathlab a
sambil memikirkan mereka yg masih luntang lantung
hingga malam kembali habis

Allah, give me more power, please... :'-)

Demi setapak print foot

Duri-duri di jalan selalu saja bertebaran tiada habisnya. Menginjaknya adalah suatu kesalahan yang lebih disayangkan. Tapi berterima kasihlah banyak2 kepada mereka yang menyapu jalanan, menyelamatkan dengan solusi tanpa banyak cakap :' *your fellow*

Beloved akhi wa ukhti

free counters